a. Biografi Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
b. Kisah Sunan Gunung Jati
1. Asal – Usul
Sebelum era Sunan
Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari
Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang
muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari
Pajajaran bernama Pangeran Walang sungsang dan adiknya Rara Santang pada
suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga tiga
kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan
caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda
itu merasa rindu. Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda
itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya
itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul
Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan
Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi
untuk berguru kepada Syekh
Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang
diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda
sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu
dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap
dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar
Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang
terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing
yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari
berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban.
Maka Legal Alang- alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang
itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon
hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran
Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan
ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu
tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil
menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi
Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama
Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir
itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja
Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah. Rarasantang dan
Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan
Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan
Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di
Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri
Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari
daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran
Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban
Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu
Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri
baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan
walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk
pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif
Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua
puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa
berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan
kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif
Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah.
Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke
tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu
Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati
adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai
Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban
Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan
Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam
gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan
atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu
Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren
Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran
Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif
Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah
lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada
Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung
tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif
Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu
Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.
Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi
cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah
kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada
yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat
yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut
baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan
putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah
kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut
Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya
disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap
sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli
siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya
pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka
adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat
diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki
Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran,
mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira
pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan
Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri,
Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah
besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri
asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok.
Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri
Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati,
Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar
ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak
sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang
dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan
diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi
Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu
melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga
ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan
Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal
sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa,
seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke
Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah
karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518,
berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor,
baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakanpemberontakan dari
daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran
Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun
1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang
ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis
di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ?
Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran
menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon
itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu
dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya
Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik,
dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi
komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa
hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu
arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran.
Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra
Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari
Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap
Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di
Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA
sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman.
Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.
Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang
terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan
Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil
diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari
Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan
Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta
kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati
sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad
Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara
Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai
Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568,
dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau
dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus
Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu
berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar