a. Biografi Sunan Giri
b. Kisah Sunan Giri
1. Syeh Wali Lanang
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan
diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu. Salah sorang keturunan Prabu Hayam
Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu
dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ……”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat menyembuhkan putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa
saat. Pada akhirnya dia setuju atas saran istrinya. Segera dia
perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih Bayul Sengara
untuk mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid
Dewi Sekardadu akan dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat
mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka akan diberi separo dari
wilayah kerajaan Blambangan.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan,
Patih Bayul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa
biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah
Patih Bayul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan,
masuk hutan keluar hutan, naik dan turun gunung. Pada suatu ketika
mereka bertemu dengan seorang Resi bernama Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Ujung keris itu meleset ke arah sang
Resi, hampir saja menyentuh dada Sang Resi. Namun tiba- tiba keris itu
membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara.
Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat dia merundukkan badan.
Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam sebatang pohon
sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang
pohon sawo yang cukup besar, tinggal gagangnya saja yang tampak. Patih
Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang
Patih, dilihatnya batang pohon sawo itu mengeluarkan asap dan kulit
pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan pohon sawo itu
rontok, berguguran ke tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara
menjatuhkan diri, berlutut didepan sang Resi. Resi Kandabaya masih dalam
sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti tak pernah
terjadi suatu apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih
hinggap di depan sang Resi. Merpati itu meletakkan selembar daun
lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian merpati itu
mengeluarkan bunyi. (mbekur istilah Jawanya). Aneh, sang Resi
kemudian membuka sepasang matanya setelah mendengar suara si merpati.
Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala,
seolah mengerti apa yang diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan
sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi
Kandabaya.
Sang Resi segera mengambil daun lontar
yang diletakkan merpati tadi. Dia seperti tak menghiraukan adanya Patih
Bajul Sangara yang membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai
Padepokan.
“Ampun ……… ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba menganggu ketenangan
Bapa Resi ……… “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Bapa Resi ……… “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan
sang patih. Dia sedang asyik membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di
daun lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca tulisan didaun lontar,
sang Resi bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang
menggeletak kesakitan tanpa dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali
tepukan pada bagian-bagian tertentu di tubuh para prajurit itu maka
kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara dapat bergerak lagi dan rasa
sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta merta sepuluh orang
itu menjatuhkan diri berlutut didepan sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka
lagi. Dia berjalan kearah Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali
ini dia tidak duduk bersemedi melainkan tegak didepan Patih Bajul
Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ……… hamba harus yakin
bahwa orang yang hendak mintai pertolongan memang benar-benar mumpuni.”
ujar Patih Bajul Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang
resi. “Kau hendak memintaku mengobati penyakit sang putri Dewi
Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan atas perintah
Prabu Menak Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah
penyakit itu sudah dikehendaki Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya,
juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia- nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia- nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang
tersirat di hati Patih Bajul Sengara. Sesudah menarik nafas panjang
karena kesal melihat sikap sang Patih diapun berkata, “Baiklah Patih,
aku akan memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang
yang mampu menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir
wabah penyakit dari seluruh wilayah Blambangan. Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut
sang Resi.” Akan terjadi sesuatu di luar perhitunganmu dan hal itu akan
membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin mengetahui orang yang
hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba
bersikap kurang ajar kepada orang yang hendak menyembuhkan Dewi
Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang diajukannya hendaknyan kau dan
Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam,
beristirahatlah di Padepokan ini. Besok pagi kalian boleh
berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu
hingga ke tempat tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu bermalam di Padepokan Resi
Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.
Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada
pertapa di gunung Selangu itu.” Pesan Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul
Sengara meninggalkan Padepokan.
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan
waktu yang cukup lama. Walau mereka naik kuda pilihan tapi pada
tengah hari barulah mereka sampai di gunung Selangu. Mereka
terus mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika
jalanan semakin naik, maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu
berhenti didepan sebuah goa. Saat itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu
keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang, sebuah cahaya yang
mampu menerangi tempat sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para
prajurit pengiring untuk menunggu di luar goa. Dia sendiri segera
berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin terang cahaya yang
memancar itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul
Sengara terbelalak heran, ternyata cahaya itu bukan berasal dari sebuah
lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh seorang berjubah putih
yang sedang bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu
mengeluarkan cahaya terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka
Patih Bajul Sengara tidak berbuat macam- macam yang justru akan
membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia menunggu orang itu
bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah Patih Bajul
Sengara menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi
Kandabaya,” ujar sang Patih.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi
Kandabaya,” ujar sang Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama aku bersahabat dengan Resi
Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan
maksud kedatangannya menemui sang pertapa. Pertapa itu mengangguk
–anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih. “Sebelum aku
menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini, “kata
pertapa itu. “Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku
bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan sekaligus mengusir wabah
penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa Prabu Menak Sembuyu
dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan bersedia
mendengar nasehatku.”
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk
di luar perhitunganku, demikian bisik hati sang Patih. Soal pindah agama
dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang
Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak
untuk pulang ke istana Blambangan, menyampaikan persyaratan yang
diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh
Maulana Ishak.
Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke
Blambangan dan menyampaikan persyaratan yang diajukan Syekh Maulana
Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu
untuk melepaskan agama lama yang terlanjur diyakini selama
bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi Sekardadu,
maka dia terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana
Ishak. Patih Bajul Sengara diperintahkan menjemput Syekh Maulana
Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih Bajul Sengara
dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. Syekh Maulana Ishak
akan menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul
Sengara ketika sampai di istana Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak
sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur
keterlambatan sang Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana
Ishak itu benar-benar pertapa sakti yang mumpuni. Dia yang menempuh
perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang
datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak
melakukan tirakat untuk mengobati Dewi Sekardadu. Di malam keempat,
sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat ditiupkan wajah sang putri tiga
kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari
tidurnya. Seluruh isi istana gembira menyaksikan hal itu terlebih
permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya.
Syekh Maulana Ishak diambil menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu.
Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih
seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri
Blambangan untuk memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk
yang melanda rakyat Blambangan.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari- hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari- hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan
penyuluhan merawat kesehatan dan membersihkan diri serta lingkungan
tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka banyaklah rakyat
Blambangan yang sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya
tergolong berat terpaksa mendapat perawatan khusus dari Syekh Maulana
Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan,
pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara
diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena Syekh Maulana Ishak bukan
hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu melainkan juga
mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai
raja muda atau Adipati. Mendapat kekuasaan separo dari wilayah kerajaan
Blambangan, sesuai dengan janji yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu
sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara
pernikahan yang diselenggarakan itu sudah terjadi ketegangan antara
Syekh Maulana Ishak dengan pihak keluarga kerajaan. Yaitu disaat jamuan
makan dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada
Syekh Mulana Ishak kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang
haram, seperti babi hutan, harimau, ular, kera dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu
sungguh sulit sekali. Kalau dia tidak mau menyantap hidangan itu
nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu Menak Sembuyu.
Jika disantap dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam,
maka diapun berdoá kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoá terjadilah sesuatu diluar
dugaan. Daging-daging binatang haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba
berubah menjadi binatang hidup berloncatan kesana–kemari. Yang asalnya
dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau, yang
asalnya babi hutan menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik.
Pesta meriah geger, Syekh Maulana Ishak mengajak isterinya pulang di
Kadipaten baru yang harus diperintahnya.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh
Maulana Ishak sengaja mempermalukan sang Prabu dengan menghidupkan
binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para peserta pesta. Bukan
hanya itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak
rakyat Blambangan masuk Islam dianggap membahayakan kedudukan Prabu
Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal kerajaan Blambangan. Karena
semakin hari semakin banyak pengikut Syekh Maulana Ishak yang masuk
Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana
Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh
Maulana Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut
kerajaan Blambangan ini dari tangan Gusti Prabu, demikian hasut Patih
Bayul Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan berontak dan memaksa kita
benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa
kita pura-pura saja masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti
mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya
pura-pura masuk agama Islam demi kesembuhan putrinya. Kini setelah
termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara dia mulai menaruh kebencian
kepada menantunya itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.
akin hari semakin bertambah banyak saja
pengikutnya. Hati Prabu Menak Sembuyu makin panas mengetahui hal ini.
Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu
dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa
sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan terror pada pengikut Syekh
Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh
Maulana Ishak di culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama.
Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada
akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang
hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan
akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan
rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit
kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan
hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh
bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang
diri.
Esok harinya sepasukan besar
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos
masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Tentu saja Patih kecele, walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia
tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi
Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan. Seluruh pengikut Syekh
Maulana Ishak sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak
terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa
bangga atas kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih
membara di dadanya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi
Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu
Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat
kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi
Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi
Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
n halnya dengan Patih Bajul Sengara.
Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih saying keluarga istana
selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu.
Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan.
Maka Patih Bajul Sengara mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak
sebagai penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat
Blambangan ini disebabkan ulah Syekh Maulana Ishak. Dewa murka karena
penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan
kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana
kita harus kembali
kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,”
demikian kata sang Patih.
kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,”
demikian kata sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat
bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun
menurut dukun-dukun terkenal di Blaangan ini disebabkan adanya hawa
panas yang memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul Sengara
dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil
keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran
cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror denga
hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau
demikian tiada juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara
langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam
peti dan diperintahkan untuk dibuang kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar sang Prabu kepada Dewi
Sekardadu.
Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis
dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu
saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu
adalah lautan besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan
upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan
tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan,
peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari
pandangan mata. Meski demikian wanita muda itu tidak beranjak dari
tempatnya. Suasana di tepi pantai itu sudah sunyi senyap, hanya debur
ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari mulai condong ke
langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu
segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk
tepekur di tepi pantai.
Di saat para prajurit meninggalkannya
itulah Dewi sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia
melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap
benci sang Patih kepada Syekh Maulana Ishak adalah dikarenakan ambisinya
untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar
manakala kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang telah lama
diimpikannya sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan
ternyata lebih dahulu di sunting oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah
padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syekh Maulana Ishak dari bumi
Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang
telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus
menyingkirkan putra Syekh Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu
benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu dan di belakang hari
bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para
prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang duduk terpekur di tepi pantai hingga
sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat. Patih itu kelabakan, dia
perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu
sia-sia belaka. Sang Putri seolah-olah lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum
meneruskan perjalanan ke negeri Pasai sempat mampir ke Ampeldenta di
Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia berpesan, apabila
bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu
itu supaya dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka
mendidiknya secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak
berkeberatan menerima amanat itu. Jika kita amati di dalam Babat Tanah
Jawa, sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishak masih
terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah. Dan
kemudian beliau mendapat sebutan Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana
Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan perguruan Islam di sana dan terkenal
sebutan Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di Gresik dekat makam Maulana
Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh
Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh
Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh Maulana Malik Ibrahim.
2. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu
dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada
ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak
dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk
memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu
karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah
peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan
menyimpan barang berharga.
Nakhoda memerintahkan mengambil peti
itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena
didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan
rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil
itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah
lautan, sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak
kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat
bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata
perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian
diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena peti perahu ini
tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat
bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata
perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian
diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena petiperahu ini
tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat
melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke
Gresik, kita laporkan kejadian aneh ini kepada majikan kita,” demikian
kata Nakhoda kepada anak buahnya.
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang gelombang dan badai.
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang gelombang dan badai.
Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan
selamat. Tetapi Nyai Ageng Pinatih merasa cemas melihat kapal perahu
dagang miliknya kembali lebih cepat dari biasanya. “Apa yang terjadi?
Mengapa kalian pulang secepatnya ini ?”
Lebih-lebih setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti semula. Nyai Ageng Pinatih mulai naik pitam.
Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya membawa peti berisi bayi ke hadapan Nyai Ageng Pinatih.
“Peti inilah yang menyebabkan kami
kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke
Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng Pinatih.
“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari
membuka tutup peti itu. Sepasang mata Nyai Ageng Pinatih terbelalak
heran melihat bayi montok, sehat dan rupawan menggerakgerakkan tangannya
sembari menatap ke arahnya.
“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Begitu diangkat bayi itu tampak
tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih berbinar-binar, seketika itu juga dia
merasa sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu adalah seorang
janda yang tidak dikaruniai seorang putrapun.
“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda kapal.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Benar Nyai Ageng.”
“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini ?”
“Banyak di antara kami yang menyukai
bayi itu dan mengambilnya sebagai anak. Tapi kami tahu betapa lama Nyai
Ageng mendambahkan seorang putra, maka lebih tepat kiranya bila Nyai
Ageng yang merawat dan membesarkan bayi itu.”
“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat
berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya. Memang sudah lama dia
mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa senangnya…. Kepada
nakhoda dan anak buahnya.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat
oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya yang disegani
masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai
Ageng Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang
muslimah yang baik, walau Joko Samodra bukan anak kandungnya dia merawat
dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih Joko Samodra itu
ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat berbakti
selalu bersikap menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia
selalu menghormati dan menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya
dia tak pernah menyakiti atau berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra
benar-benar merupakan profil anak yang menjadi buah hati orang tua dan
pantas dibanggakan setiap orang tua. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng
Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat
atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel
telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra bukanlah anak sembarangan.
Muridnya yang satu ini memiliki kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran
yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo yang tidak terlalu
lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden
Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud,
mendoákan murid-muridnya dan mendoákan ummat agar selamat di dunia
dan akhirat. Sebelum berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-
lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada
sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat
beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui
siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi
ikatan pada pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” Tanya Sunan
Ampel.
Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko
Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak
sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk
menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk
bertanya lebih jauh tentang asal usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih
menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di
temukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan
untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah
Nyai Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri
datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih tersimpan rapi itu.
Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal dari
kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekhb Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekhb Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak
sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan
pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden
Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya
penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga
masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
3. Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta,
Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang
bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja,
saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda
itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di negeri
Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di Negeri Pasai banyak orang
pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar
Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah
Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan
teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang
menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu
yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku
dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya
disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak
ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya
sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak
angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di
Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan
pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus
meninggalkan istri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan
mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah
disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib
ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih
hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam hatinya telah bertekad untuk
pada suatu ketika akan datang ke Blambangan menuntut balas atas
kekejaman kakeknya itu. Namun Syekh Maulana Ishak segera meredahkan
gelora hati Raden Paku yang masih
berusia muda itu. “janganlah kau diperbudak iblis sehingga berniat
membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh Maulana Ishak.” Memang boleh
kita membalas perbuatan jahat seorang dengan balasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Tapi memberi maaf itu lebih baik. Jika engkau
pemuda Islam yang baik yang tidak sama dengan pemuda lain dengan
menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah otomatis kita berdakwah
dengan perbuatan nyata.”
Karena nasehat ayahnya yang bijaksana
itu Raden Paku mengurungkan niatnya untuk membalas dendam pada Prabu
Menak Sembuyu. Toh raja Blambangan itu masih terhitung kakeknya
sendiri.
Di negeri Pasai ulama besar dari negeri
asing yang menetap dan membuka pelajaran agana Islam kepada penduduk
setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum
Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh
Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku
dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan,
sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar
ilmu Ta uhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran,
Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan
menjiwai kehidupan Raden Paku dalam prilakunya sehari-hari sehingga
kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang
sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan
berpengalaman. Guru-gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana
A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan
masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua
pemuda itu diperintahkan kembali ke Tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku
diberi sebuah bungkusan putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah
Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam
bungkusan ini, disitulah kau membangun Pesantren,” Demikian pesan
ayahnya.
Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya.
Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel
memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku
diperintah pulang ke Gresik kembali ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng
Pinatih. “Tiba masanya bagimu untuk berbakti kepada Nyai Ageng Pinatih.”
Kata Sunan Ampel. “Walau dia bukan ibu kandungmu tapi dialah yang
membesarkan dan merawatmu sejak kecil.
Bantulah dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita juga melakukan da’wah sambil berdagang.”
Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim
berdakwah di Tuban dengan menggunakan gamelan untuk menarik masa maka
akhirnya dia dikenal sebagai Sunan Bonang. Sesuai dengan nama gamelan
yang sering di gunakan melantunkan lagu-lagu atau tembang keagamaan.
Sedang Raden Paku kembali ke Gresik untuk membantu ibu angkatnya dalam mengurus perdagangan antar pulau.
4. Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku
diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar
atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati.
Nakhoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah.
Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng
Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan
dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan
pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu
terjual habis di pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa
barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa,
seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan
yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah
kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang
dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah
menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, “Raden …… kita
pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan
kita diberikan secara Cuma-Cuma ?”
“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan
ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya kira
belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan
diri.”
“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata
Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita
mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai ?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia
sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi
kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi
sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau,” kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal
tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.”
Walaupun agak konyol tapi benar juga
akal itu, demikian pikir Abu Hurairah. Kapal itupun diisi dengan
karung-karung yang berisi pasir dan batu. Sekedar menjaga keseimbangan
agar kapal itu tidak karam dihantam badai.
Memang benar, mereka dapat berlayar
hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah
menjadi kebat kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap
Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat.
Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata Raden Paku. “Lebih baik ibu lihat dulu apakah isi karung-karung dalam kapal itu ?”
“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah
tak pernah berbohong kepadaku. Pasir dan batu apa susahnya mencari di
Gresik ini. Aku tidak keberatan barang dagangan itu kau sedekahkan
kepada penduduk Banjar yang menderita tapi pasir dan batu itu buat apa
?”
“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !” pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja
pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja !” Hardik
Nyai Ageng pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar,
seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya
jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada
penduduk Banjar. Sejak saat itu Nyai Ageng Pinatih tidak berani
menganggap sembarangan pada anak angkatnya. Dia yakin kelak Raden Paku
akan menjadi orang besar, seorang yang mempunyai kelebihan dibanding
pemuda-pemuda biasa lainnya.
5. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah, ada seorang bangsawan
Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai Sebuah pohon
delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang
hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut
meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja
lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah
pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Pakuh, dan ia berkata, “kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah
mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu
dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi
Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu
seorang muslim yang baik, aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah
yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap
kau tidak mengecewakan niat baiknya itu.” Demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi ………. bukankah saya hendak menikah dengan putri Kan jeng Sunan yaitu dengan Dewi
Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi
Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden
Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel,
kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang Bangsawan Majapahit
yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya. Sesudah berumah
tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil
berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat
sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak
memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam
dengan mendirikan pondok Pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk
meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu
tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari
dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan
Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan
kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya,
maka wanta itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan
pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa
yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat
kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih
ada, yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah
Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun
berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan
tanah yang di bawa dari Negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden
Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai,
iapun mencocokan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu.
Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau
gunung maka dinamakanlah pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sangsekerta
artinya gunung. Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan
spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga
tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
6. Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya
dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya
hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf,
sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia
memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di
Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari
Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana
karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton ( Kerajaan
Giri ) .
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Giri ) .
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid
Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar,
seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah pengembara kebesaran
nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada
jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun
masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para
santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya
dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air.
Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara
Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya
beliau seorang yang mampu melakukannya.
7. Sebagai Pemimpin Kaum Putihan
Dalam menentukan hokum agama yang pada
saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-masalah ummat
yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau kuatir terjerumus
pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih.
Ibadah menurut beliau haruslah sesuai
dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan
lama yang justru bertentangan dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau
di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih.
Di bidang tauhid beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat
lama dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan
dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak menyesatkan ummat
dibelakang hari.
Pelaksanaan syariat Islam di bidang
agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini maka Sunan Giri
dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini
artinya adalah dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih
seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan adalah Sunan Giri yang
didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.
Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria.
Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah
Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :
Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :
Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat
1. ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka
2. ditiadakan.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk
3. mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam
4. menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang
5. kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
1. ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka
2. ditiadakan.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk
3. mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam
4. menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang
5. kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
Itulah pendapat kaum Abangan yang
dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbedaan
dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi
ketegangan kedua pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan
bermahZab Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyadari pentingnya pos
mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur
dengan faham yang berbau syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah
mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk agama Islam.
Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka
saja.
8. Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan
Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang
pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang
dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh
Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya
dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan
peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pegelaran wayang kulit,
kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak
diresmikan pada saat
hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar
manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan
sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah
dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi
tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam
pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang
arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat
Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang
dinamakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga. Peranan Sunan Giri dalam
perjuangan Wali Songo sebenarnya masih banyak, diantaranya akan kami
turunkan dalam bab lain di buku ini.
9. Prabu Satmata Dan Giri Kedaton
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun
1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau
Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat
bagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan
Wali Songo, yaitu menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah
yang paling tidak setuju atas beberapa usul agar Raden Patah segera
menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri sebagai kerajaan Islam
merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan Sunan Giri
yang masih terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu
Brawijaya sebagai pembesar atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa
didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri
berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang
paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali
mengusulkan untuk menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak
setujuannya.
“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit
sudah keropos dari dalam. Lagi pula Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih
ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan
Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka
menyerang dan merebut tahta ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan
Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa adipati yang masih
beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan. Kita tak usah
ikut- ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan
agama yang kita anut.”
Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak
lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri bernama
Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa
Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak
yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel
wafat, penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga.
Sedang Sunan Giri dianggap sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di
bidang politik kenegaraan.
Para Wali mengadakan sidang sesudah
jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana yang
berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan
Majapahit. Dengan demikian ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah
menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan
justru merebut tahta Majapahit dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada
waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di Majapahit pernah berusaha
menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri dianggap salah satu kerabat
Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Sunan Giri.
Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar
Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu.
Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton
untuk menentang Sunan Giri adu kesaktian. Diantara adu kesaktian
beragam jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan
Mintasemeru menciptakan sepasang angsa jantan dan betina, kemudian
dikubur hidup-hidup diatas gunung Patukangan. Sesudah itu dia kembali
menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan
Mintasemeru menguji Sunan Giri.
Mintasemeru menguji Sunan Giri.
“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya.
Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.
“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.
Sang Begawan menurut. Dia bongkar
kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai
gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu
saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa
Begawan Mintasemeru masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang
menakjubkan, tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada
akhirnya Begawan Mintasemeru menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam,
kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu. Legenda tentang adu
tebak kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di
tangga masuk ke makam Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan.
Disana ada sepasang naga dari ukiran batu yang mirip dengan angsa.
10. Jasa-Jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja
perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke
Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang
ataupun dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang
ataupun melalui murid- muridnya yang ditugaskan keluar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam
perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad
karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang
disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat
tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal
jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan
konsekwen berdampak positif bagi generasi Islam berikutnya.
Islam yang disiarkannya adalah Islam
sesuai ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adapt istiadat
lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah
yang pertama kali menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang
bernafas Islam antara lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan
dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintanya ialah sebagai
berikut :
Diantara anak-anak yang bermain ada yang
menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan
selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau
batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang
disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah
berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari
ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, dolanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog hangetikar.”
ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog hangetikar.”
Artinya adalah sebagai berikut :
“Malam terang bulan, marilah lekas
bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat
benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”
Maksud lagu dolanan tersebut ialah :
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan,
di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang
lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Sunan Giri jauh-jauh sudah
memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan jaman.
Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang akan datang akan banyak
orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat
jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka
dipuja-puja
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.
Dimasa yang akan datang juga akan muncul
guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka
mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa
saja. Guru semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai
masyarakat rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi
kesenangan sang guru. Dalam kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang
sudah sering terbukti. Sudah berapa kalikah masyarakat dibodohi
guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul hingga orang-orang yang
mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.
11. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada
tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh
tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri
Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar
terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai
bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan
menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri
berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama
meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu :
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih
mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh
VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam
rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang
murid dari Pesantren Giri yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan
bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan
karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah
menumpas dan membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan
isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari
orang- orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah
para pengikut faham Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar yang ditentang Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari
wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal
hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri.
Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar