Selasa, 28 April 2015

SEJARAH LENGKAP WALI SONGO PART 4

  1. a. Biografi Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

    gambar sunan bonangSunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
    b. Kisah Sunan Bonang
     
    Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.
    Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
    Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

    Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah  kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
    Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di
    Tuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.
    Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat. Lebih- lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
    Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
    Begitulah  siasat  Raden  Makdum  Ibrahim  yang  dijalankan  penuh  kesabaran. Setelah  rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.
    Tembang-tembang  yang  diajarkan  Raden  Makdum  Ibrahim  adalah  tembang  yang  berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
    Diantara tembang yang terkenal ialah :
    “Tamba ati iku sak warnane,
    Maca Qur’an angen-angen sak maknane, Kaping pindho shalat sunah lakonona,
    Kaping telu wong kang saleh kancanana,
    Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe, Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
    Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
    Artinya :
    Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya. Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,
    Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud), Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu),
    Keempat harus sering berprihatin (berpuasa),
    Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
    Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.
    Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di PerpustakaanUniversitas Leiden, Belanda. (Nederland)
    Suluk  berasal  dari  bahasa  Arab  “Salakattariiqa” artinya menempuh  jalan (tasawwuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
    Dibawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
    Suluk Wragul Dhandhhanggula Wragul 1
    Berang-berang, jika diteliti ini raga
    Belum ketemu hakikatnya Ada atau tidakkah ia Sebenarnya aku ini siapa
    Impian beraneka ragam
    Kalau dipikirkan
    Akhirnya menyedihkan
    Yang mustahil banyak sekali Segala wujud di semesta ini Tak putus-putus sama sekali
    Wragul 2
    Maka dengarlah perlambang ini Ada kera hitam sedang berdiri Di tepi sungai
    Tertawa keras tak kepalang
    Kepada berang-berang yang mencari makan
    Siang dan malam
    Terus tanpa kesudahan
    Tak ingat bahwa ia diciptakanTuhan
    Yang diingat hanya makanan
    Tanpa memperdulikan
    Bahaya mengncam
    Wragul 3
    Dilalapnya apa saja ia dapatkan
    Tidaklah ia memperhatikan
    Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan
    Mustahil ia tak sanggup memberi makan
    Dari kehidupan hingga kematian
    Apapun saja yang dikodratkan
    Telah disesuaikan
    Ulat dalam batu pun diberi santunan
    Maka jangan hanya suntuk mencari makan
    Wragul 4
    Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah
    Berang-berang berkata dengan ramah Duh kera hitam, sungguh engkau kejam Kau paksa aku mengikutimu
    Yang kata orang tanpa dipikirkan
    Ya, aku terpaksa
    Mencari makan, tapi tidaklah
    Dengan susah payah
    Sekedar semampu diriku ini
    Aku tak mencari-cari
    Wragul 5
    Hak orang lain tak kurebut
    Tak kuperhatikan bencana dan kutuk
    Tak kulihat yang hidup
    Demikian pulalah halnya burung elang
    Mengikuti tenggiling untuk cari makan
    Susah untuk memberi peringatan
    Jika engkau merasa
    Sebagai makhluk Tuhan adanya
    Janganlah hati mendua
    Tak usah campuri urusan orang lain
    Karena semua punya kadar masing-masing
    Wragul 6
    Sudah diberi hak hidup sendiri-sendiri Seperti juga berbagai tetumbuhan ini Atau yang memakan dedaunan Mengikuti takdir Tuhan
    Siapa akan mengikuti kata-katamu Siapa menuruti ajakanmu Sedangkan di hutan tempatmu Sang kera hitam menjawab Tidaklah akan kuubah
    Makananmu, hanya ingatlah
    Kepada yang memberi makan kepadamu
    Wragul 7
    Perbuatlah amal kebajikan Terpaksa harus kuberitahukan Hal-hal yang berfaedah saja
    Sekedar menunjukkan yang benar adanya
    Jawab Berang-berang
    Tahulah aku
    Maksud omonganmu
    Kau inginkan
    Agar kuberi kau makan
    Tapi aku tak akan tunduk kepadamu
    Wragul 8
    Ibarat sudah tahu kebohongannya
    Mulut jujur hati berdusta
    Karena memaksa harus berbuat begini Menghormat kepada yang belum mengerti Agar dipercaya di dunia ini
    Berapa kekuatannya
    Tak tahu bahwa
    Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi
    Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti
    Kalau berhasil melebihi
    Wragul 9
    Kelihatannya luhur dan mulia Serba benar pembicaraannya Tuntas luar dalamnya
    Bagus penampilannya
    Kena kotoran sedikitpun tak bersedia Seperti burung elang akibatnya Terbang tinggi
    Lupa melihat kanan kiri Begitu musuh disiasati Selamat sampai akhir hari
    Wragul 10
    Apabila ibarat ikan
    Ikan gegenjong yang lemah badannya
    Namun tajam tajinya
    Hai kera hitam
    Mana kata-katamu yang benar
    Yang diharamkan ditolaknya Itu kalau sedikit jumlahnya Dan walaupun haram
    Tapi kalau ada sedikit manisnya ditutupi
    Dengan amat tersembunyi
    Wragul 11
    Jelas itu dicampur aduk
    Ada yang diucapkan dengan pura-pura
    Yang terlihat tindakannya
    Pujangga maupun pendeta Sama-sama kurang budinya Aku tahu semuanya
    Sama-sama meminta-minta
    Hanya satu dua yang mengamalkan
    Meminta tanpa dibantah
    Walaupun tidak sungguhan
    Wragul 12
    Kikir kalau dimintai
    Lagaknya seperti pendeta sakti
    Usaha seakan tak henti
    Dalam hidup ini hendaklah mengerti
    Upaya orang lain
    Dalam hidup ini seyogianya
    Tak demikian tindakannya
    Di mana ada niat yang tak semestinya Kata ahli kitab tak mau makan riba Sebab ia pendeta
    Wragul 13
    Orang besar orang kecil berebut bersaing Berupaya menggunakan akal masing-masing Yang namanya raga manusia
    Siap semuanya
    Untuk beramal senantiasa
    Sedangkan apa kelebihan pendeta Sibuk mengolah ilmu pengetahuan Rahasianya mencari pekerjaan Berkah yang melimpah diharapkan Jaksa pun demikian
    Wragul 14
    Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis
    Mencari nafkah dengan menipu mengemis
    Supaya ada kaulnya
    Demikian para dukun adanya
    Menjual mantra
    Juga para guru yang terhormat
    Mengajarkan ilmu luhur
    Sama saja yang diharapkan Yaitu pengabdian murid Seperti burung kuntul
    Wragul 15
    Bertapa ada tujuannya
    Agar memperoleh ikan di rawa
    Agar semua itu kena olehnya Adapun yang bertapa di gunung Tujuannya pun
    Untuk memperoleh Negara Oleh masyarakat dipercaya Begitu yang namanya pendeta Terus menerus bertukar pikiran
    Berbuat kepercayaan dalam pemerintahan
    Wragul 16
    Pendapat yang benar ditentang Mencari saksi makin kesulitan Diuji dengan kepercayaannya Tak tahu bahwa terlalu asyik ia Membicarakan keburukan orang
    Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan
    Padahal kejelekannya sebesar gunung
    Lagi pula ia tertarik pada rupa
    Serta keanekaragaman suara yang masuk telinganya
    Dari awal hingga akhir diterimanya
    Wragul 17
    Karena banyak orang membingungkan Tersandunglah ia di tempat yang rata Sembuh, tapi mati akhirnya
    Yang samar dikira nyata
    Yang bukan-bukan dikira mengalir
    Yang duduk dikira air
    Yang tidak terlihat
    Senantiasa melihat cela orang lain
    Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi
    Sang kera bicara gusar
    Wragul 18
    Ya, kamu jadinya
    Mencela tingkah laku pendeta
    Kalau begitu
    Kamu pantas diburu
    Hidupmu bagiku gambling Merintangi pekerjaan Kemudian sang berang-berang Berucap : Apa maumu !
    Seraya merunduk sambil menerjang
    Tapi telah meloncat si kera hitam
    Wragul 19
    Pada dahan kayu sambil bersiaga Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya Semua pun angkat bicara
    Dengan bahasa lambang mereka
    Marah mereka
    Siapa saja yang mencela pendeta
    Boleh kita mengejarnya
    Sampai mati ia
    Semua kera mengepung di pinggir sungai itu
    Tapi berang-berang sudah tahu
    Wragul 20
    Ketika sudah berkumpul semua kera hitam Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan Kemudian si berang-berang
    Sambil makan ikan, memberi peringatan: Kera hitam, pulanglah kau
    Bersama teman-temanmu
    Sebab siapa tahu si empunya datang Yang di sungai ini ia punya larangan Siapa tahu firasat ia dapatkan ……….
    Wragul 21
    Sanggupkah kau lindungi teman-temanmu ? Maka semua kera hitampun bubar berlalu Agaknya mereka malu
    Dan sang berang-berang keluar dari air
    Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir
    Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir
    Sang berang-berang berkata dalam hati
    Berangan-angan ia
    Kera hitam merasa suci dirinya
    Mencela orang yang sedang mencari mangsa
    Wragul 22
    Memang perbuatan yang cemar Adalah perbuatan melanggar Hanya saja tak terlihat
    Sungguh, cari saja yang mempunyai Kebahagiaa, berlakulah laku sejati Meskipun seorang pendeta
    Seulung apapun ia
    Jika menulis, lupa beribadah Dirinya sendiri tak tampak olehnya Karena orang lain saja yang dilihatnya
    Wragul 23
    Jadi, tingkah laku orang peroranglah Yang merupakan makanan kesukaannya Kelihatan bijak perbuatannya
    Namanya pujangga
    Yang terkandung di hati yang ditatapnya
    Tapi setelah keluar darinya Terlihat ia ingin menjiplaknya Demikian ibarat seekor burung
    Bertengger di pohon beringin yang terbalik
    Wragul 24
    Sementara sang berang-berang Bersoal jawab dengan kera hitam Turunlah burung tuhu Menanyakan kesejatian
    Mungkin selama perbincangan itu Yang demikian yang diinginkan Kepada kalimat tauhid amat senang Sehingga dipertuhankan
    Tak ingat yang sungguh-sungguh Tuhan
    Wragul 25
    Lahir dan batin, dulu dan kemudian
    Baik buruk, suka dan duka
    Sudah nasib manusia, tiada bedanya
    Takdir Allah yang Maha Agung
    Siang malam sembah puji senantiasa
    Jika rahmat tak datang juga
    Jika belum mencapainya
    Masih ragu adanya
    Berterus teranglah dalam memperolehnya
    Demikian burung tuhu berkata
    Wragul 26
    Sudah sebulan aku berdampingan
    Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan
    Sebab semua
    Yang ia makan adalah kotoran
    Jadi selalu kuhindari Tak akan aku ikuti Yang najis
    Sungguh selama hidupku
    Yang halal saja makananku
    Yang diajak bicara menjawab begitu
    Wragul 27
    Tahu semua pengetahuan
    Namun tak mengerti sastra agama
    Dari mana asalnya
    Yang meskipun seolah telah merasuk dihati
    Tak mungkin ditolak di dunia ini
    Burung tuhu berujar : Walau manis tutur katanya
    Sebenarnya takhyul yang dibeberkan
    Sang berang berkata : Pernah kudengar
    Bahwa dalang tak pernah ditanya
    Wragul 28
    Pemburu tak henti berkelana
    Ibarat burung bangau bertapa di rawa
    Tiada lain niatnya
    Kecuali mencari ikan di air
    Dimakannya siang malam Seperti bangau botak Seperti kambing prucul
    Maka orang yang menjalani laku
    Jangan cepat melangkah dulu
    Bertanyalah kepada yang tahu
    Wragul 29
    Haruslah lahir batin kalau memuji Yang diucapkan musti dimengerti Yang dilihat hendaknya dipahami Juga segala yang didengar
    Betapa sukar orang memuji Maka sebaiknya carilah guru Yakni orang yang lebih tahu Yakni ahli ibadah
    Dan memujilah hingga merasuki hati
    Begitulah orang melakukan sembah puji
    Wragul 30
    Kalau tak tahu apa yang disembah
    Hilanglah apa yang disembah
    Karena sesungguhnya tak ada tirai itu
    Tataplah gunung
    Dan bunga dalam kesepian
    Ikan tanpa mata Wahyu sejati Pandanglah Arjuna
    Kalau bertapa tak tergoda
    Oleh apa saja
    Wragul 31
    Ada tiga macam pepuji
    Pertama melihat yang disembah
    Kedua melihat rupanya Ketiga tak melihat Kepada sesuatu, namun
    Menghadap yang disembah
    Ibarat mencari
    Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan
    Tak beda segala yang dimiliki
    Berpadu satu ragawi ruhani
    Wragul 32
    Kalau tak begitu kafir jadinya
    Yang namanya gajah, gerangan mana ia
    Sejauh-jauh usiaku
    Belum mengerti hal itu
    Ibarat menyatukan perjalanan gajah
    Dengan petualangan burung garuda
    Ibarat menyatukan punggung dengan dada
    Atau wayang dengan kelirnya
    Tapi sesungguhnya cermin satu adanya
    33
    Itu jelas sama
    Yang dicari sedang tak ada
    Tapi burung tuhu sedang memahaminya
    Ibarat malam yang dibakar
    Tak ada yang dipikirkan Ajaran dari berang-berang Biasanya sudah diajarkan
    Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu
    Ingat bahwa engkau dikuasai Tuhanmu
    Wragul 34
    Seperti halnya tinta
    Masih menyatu dengan tempatnya
    Jangan menghindar meski mati bayarannya
    Kalau hidup, hiduplah seperlunya
    Selalu perhatikan guru
    Jangan seperti orang bermimpi
    Atau seperti burung yang disuruh berbicara
    Mengikuti kata-kata
    Dijadikan panutan pikirannya
    Berang-berang bersiap-siap menyingkir
    Burung tuhu terbang ke dahan
    Wragul 35
    Ketika kemudian matahari terbenam Terdengar suara pertunjukan wayang Tampaknya di istana
    Tergetar tabirnya
    Di depan kelir berada semua wayangnya
    Burung tuhu tampak
    Ki dalang terlihat
    Yang terlihat gawang-gawangnya
    Wayangnya tiada, hanya dalangnya
    Padahal tabir penglihatan tidaklah ada
    Wragul 36
    Dalang dapat bertukar rupa Banyak orang jatuh cinta Menyaksikan tingkah wayangnya Terlihat segala tingkah lakunya Semua saling jatuh cinta
    Betapa mendalam keinginan
    Menatap sang dalang Namun dicari tak ketemu Meskipun dengan susah dan rindu
    Wragul 37
    Lebih-lebih jika kurenungkan ini
    Dengan teliti
    Betul-betul ingin bekerja
    Terlalu penuh perhitungan akhirnya
    Atas kekayaan orang-orang kaya
    Maka kalau tak paham Jangan ikut-ikutan Sampai kapan demikian
    Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali
    Raga yang tersembunyi
    Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopot.
    Begitu  gending  ditabuh  Kebondanu  dan  anak  buahnya  tidak  mampu  bergerak,  seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.
    “Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.
    “Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”
    “Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi
    ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
    “Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
    “Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
    “Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang
    Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
    “Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
    “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”
    Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke  Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar  laut.  Di  tepi  pantai  mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
    “Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan
    Bonang.” kata sang Brahmana.
    Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang ?” tanya lelaki itu.
    “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan, kata sang Brahmana.” Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.”
    Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
    “Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut ?” Tanya lelaki itu.
    Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
    “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini ?” tanya sang Brahmana.
    “Tuan berada di pantai Tuban !” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
    Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.
    Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.
    Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk dimakamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayahandanya. Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar