C. BIOGRAFI WALISONGO
a. Biografi Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
b. Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
c. Kisah Sunan Gresik
1. Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari ujung desa nampak serombongan orang
berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka
memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan
anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak ketakutan dan
masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang
berkuda itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar
dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga ketengah-tengah
perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat
tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya
berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling
depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya tinggi besar,
berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu
dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang
seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih
bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya adalah pakaian
biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih
parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara
berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si
tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud !
Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di
pelataran rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan
kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian
petani nampak murung mendengar ucapan orang yang menyebut dirinya Julung
Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai kapan
ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak
melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung
Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya hingga harta kita
terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang
hingga tujuh turunan .”
Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya
berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak ada jawaban dari
penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di
desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika
mendengar namaku disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak
memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda
untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan. Lalu naik lagi ke atas
kuda beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api pada obor itu.
Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di
tangan kanan. Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Sepasang
mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh.
Sebuah rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya
baru saja didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang
matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila
dengan mulut komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan
baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin
yakin jika bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama
Hindu maupun Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di
bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang
berada di belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan
bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan. Mau melawanku ?”
tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima
tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya.
Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga
sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu
dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu !
Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana
anak buahmu ?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja
sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada
seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras.
“Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan
kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini
?”
?”
Pemuda itu malah menatap lekat kearah
Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk
Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk
Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap
tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih
perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekedar kucing buduk
dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.
“Baik, panggil anak buah kita supaya
dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini
supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari
atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan
segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak
membakar rumah-rumah penduduk.
Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak
Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.”
Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya
orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani coba-
coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !”
“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah
orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan
dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung
Pujud” Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan
segera jadi mayat !”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun
ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak
muda itu untuk saling mengonggong ?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk
Penjalin.
Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.
‘sebenarnya aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala
kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar
Gafur.
“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi
karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang
maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar rajawali di
arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua orang, terutama para pendududk
desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget. Sebab Gafur
sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud
menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu
jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis
tangan yang hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim
serangan dengan menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan
tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah. Dadanya terasa bagai di
hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah diperhitungkan, melihat
keberanian si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian.
Tapi sungguh tak disangkanya jika kepandaian ilmu silat si pemuda
demikian tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan
dengan dada ampek.
Tadinya ia berharap akan meringkus
pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia langsung
mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia ingin
mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah
nyawa pemuda itu.
Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik.
Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam
Julung Pujud langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan
mengguntur dia merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah
perut Gafur. Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya
mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi wajahnya. Ia
merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan.
Belum pernah dia melihat kecepatan gerak seorang pesilat seperti Gafur.
Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung Pujud yang mendengar teriakan
Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat
tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang
berusia semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap
serangan yang dilancarkan tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu
berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh jurus telah
berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering
mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga
biasa.
Sementara Julung Pujud sangat bernafsu
merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada.
Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari
satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji
yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan
untuk menyentuh tubuh Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk
Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah mampu mencabut
nyawamu sejak tadi !”
Julung Pujud makin panas mendengar
ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi saingannya dalam
segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih
tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang
merusak segala pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud menyerang
Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu ketika Gafur merasa sudah
saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan perampok itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat itu Julung Pujud membacokan
goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan tangan kirinya.
Semua orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat
golok itu. Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan
sebelum hilang rasa terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya
kena tendangan teramat keras dari sepasang kaki
Gafur yang dilancarkan secara beruntun.
Tubuh Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah
dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya
terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan
bengong, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”
Delapan belas prajurit itu langsung
turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus golok di tangan
mereka menyerbu ke arah Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya
hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan
mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak mengeroyok
Gafur.
Ternyata ada beberapa pemuda desa yang
telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok
itu repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang
menyerang dengan nekad dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul,
tongkat penumbuk padi, lemparan batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum
pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya
para penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan mereka. Tak
ada yang berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa
mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar menjadi
kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah
menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang
coba-coba mengusik ketenangannya. Julung Pujud melangkah tertatih-tatih
ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati kudanya yang ditambatkan pada
sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak buahnya bertarung
sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke
depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangkum hawa panas meluncur ke dada
Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin sebelum tenaga dalam
yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca
beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar
untuk menangkis.
“Wesssss ………. ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah
menduga serangannya bakal membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke
arah pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur memandangnya
sejenak. Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang bertempur
melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat
cara para perampok itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya,
bahkan ada lima orang penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan
luka parah terbabat golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.”
Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih
tertengger diatas dahan pohon mangga.
Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin
menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara
beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang
anak panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur berhasil menghindari sembitan daun
mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun itu mengenai batang
pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang
pohon kelapa. Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ?
Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan
lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil
hinggap di salah satu dahan pohon mangga, tepat diseberang Tekuk
penjalin.
“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang
pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali. “Mengapa harus
berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan
pertarungan ini di atas tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika salah sangka. Saya hanya tidak
mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar. Kasihan penduduk
desa yang telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun” ujar
Gafur dengan suara datar.
Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang
pohon mangga. Pemuda itu demikian menghargainya. Ia merasa malu karena
selama bertahun – tahun membunuh dan memperlakukan manusia bagaikan
barang yang tidak berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.
Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi
pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para penduduk desa yang terus
menerus berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding kawanan perampok
yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.
Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang
berasal dari Perguruan Al- Karomah. Tekuk Penjalin langsung roboh
terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan
darah segar. Beberapa bagian tubuhnya nampak matang biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang
sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring
kudanya secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya
Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya
menderita kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.
“Andika keliru !” sahut Gafur sembari
melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar tanpa dapat bangun
lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan
kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana ?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata mencorong.
Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur
jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi
tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak
buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan
mati !” ancamnya tanpa main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka
suara. Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya
dia masih belum percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam
tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka
pandangan hidup bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti
selain dirinya.
“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk
menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya
tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam.
Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan
tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak
muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati
ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba
Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar
anak buahnya menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang hendak
menginjak dadanya.
“Juhhhhh ………. !”
Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu
menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih bersih berubah jadi
merah padam pertanda marah.
Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki
kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada
Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah
hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu
saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut.
Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali ini tamatlah riwayatku …….” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur
mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia
menarik kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia
menyebut , “Astaghfirullah ..”
Wajahnya yang tadi merah pedam karena
dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih
bersih. Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang menempel di
wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh ?”
“tadi ………. “kata Gafur.” Sebelum kau
meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku
membunuhmu adalah untuk jihad fi sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi
setelah kau meludahi, maka hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku
pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung. Sedangkan aku tak boleh
mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan niat berjuang di
jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari jalan Allah,
jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas dasar kebencian
pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan
ajaran agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk
Penjalin.
Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit
yang membelot dan menjadi pemimpin rampok. Kejahatanku
bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk
Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan
dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi. Namun kalau kau masuk
agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak
akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan perbuatan
baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan dihapus
semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur
Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha
bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia segera roboh
lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran antara
penduduk desa dengan kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba
terdengar bentakan yang membahana.
“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”
Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri !”
“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”
Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk
Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi. Bila itu
kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”
“Ha ha ha ha ………. !” Julung Pujud
tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita tinggalkan Tekuk
Penjalin yang telah menjadi banci !”
Julung Pujud mendahului memacu kudanya
keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang tidak mau menerima
fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa geram
dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah
menyerah, duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama
sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.
“Serahkan mereka padaku. Aku akan
mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa. Kemudian ia memberi
isyarat kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan
anak buahnya duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah
penduduk desa yang segera berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur
membuka suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah. Dengan adanya
kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang
lain, itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat
di samping belajar ilmu agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar Gafur
memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan
memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan
dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal
yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum
mengenal Islam. Dia membantu para penduduk untuk meningkatkan taraf
kehidupannya dengan cara membimbing mereka bertanam padi dengan cara
yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya ia
juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.
Penduduk setempat akhirnya menaruh
simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan mengenalkan keindahan
dan keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya
dibina di desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi
pelindung desa dari rongrongan para perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh
Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau
Satria Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh
perjalanan hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada
henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai sekelompok orang tak
bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu di antara sekian banyak
murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu siapakah
si Kakek Bantal itu. “Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang
disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
2. Menanti Tetes Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa.
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa.
Wibawanya masih terasa kuat di dunia
luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat
keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya.
Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di
mana-mana. Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak
upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di
mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan
banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih
profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum
bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas
keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan
pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana.
Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi
jadi semakin menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di
suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu
nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda
bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan
celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang
rotan ke punggung masing- masing. Setiap pukulan nampaknya disertai
tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang
biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu saling
menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu
penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh
gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu
roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.
“Irama gending segera berhenti.”
Seorang pendeta berpakaian kuning, yang
agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua
pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang
gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh
kekar. “Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak
gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat
dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya
dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih
segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua
tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan.
Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati
kerumunan orang itu. Kini sang pendeta mengangkat tongkatnya
tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.
“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan
kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi
yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua
segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan
tongkatnya lalu mencabut belati dari balik pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan
rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar dari jantungmu
sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan
mu tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”
“Jaj …… jangan …… ! Aku tidak mau …… !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat pasi.
“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta.
Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan kaki si gadis makin
mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas dada si
gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si
gadis cantik dengan belati itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan
lembut namun jelas terdengar oleh semua orangKakek Bantal dan kelima
orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri si
pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis.
“Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini
dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak segera
menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera
memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar
untuk mengusir Kakek Bantal.
Dua orang bertubuh kekar segera
menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa
basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala
Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya
mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku
dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta
terbelalak menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan.
Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik.
Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk
meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau …… ? Kau …… ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?”
tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?”
tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek
Bantal.
Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “.
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas
mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata,
“Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa Hujan
akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah
sesudah itu hujan akan diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya
Kakek Bantal.
Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia
memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya untuk meringkus
Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang
agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka
bermaksud menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh,
sepasang kaki mereka tiba- tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya.
Keduanya melolong kesakitan sembri memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya. “Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak. “Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segan- segan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya. “Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak. “Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segan- segan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita
semua,” Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua
orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas
jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja !”
Kakek Bantal segera menghampiri pendeta
tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam.
Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah
nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang
yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang
hampir saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek
Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan
Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal,
semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang
nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada
Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama
kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta
hujan seperti tadi ?”
Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu …… ! jawab para penduduk dengan serentak.
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu …… ! jawab para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Kakek
Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk
mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku
orang awam.
Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan
perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang
ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing
penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk
desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
3. Siapa Kakek Bantal?
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota Jepara adalah daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota Jepara adalah daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.
Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam
sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada
masa itu belum berkembang secara besar-besaran. Kakek Bantal
diperkirakan datang ke Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik
hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di
Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih
beragama Hindu atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang
beragama Islam tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan
tidak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :
“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau
cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di
batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah
si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan
para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa
hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan
atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :
Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :
“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia,
yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.
Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah
mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka,
dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah
Mahatinggi dan Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :
“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :
“Tuhan mereka menggembirakan mereka
dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga. Mereka
memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang
dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang
berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para
Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid,
cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan
Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya,
dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin
12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”
12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga
ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil
pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak
yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan
ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non
muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk
setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan
suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana
Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah.
Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat
kasta; kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta
tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh
kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik
Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang Sudra
dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan
bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh
saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di
hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara
mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang
mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha
sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya. Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia
hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta
Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria dan
Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang
berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela
dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau
mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang
nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah
Jawa yang seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren
yang merupakan perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng para
santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di
Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu
dan pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di
mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali
yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala
untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan
beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala
milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan
ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian
muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang.
Dimana para ulama menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah
agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit
melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi
yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat
harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of
Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh Maulana Malik
Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah itu ?” Beliau tidak
menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga hambaNya
yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang
kepadaNya.”
Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu,
“Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.” Dua tahun sudah Syekh Maulana
Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat
untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan
pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik.
Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk
mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistim pengairan yang
baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak,
para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan
tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim
tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah
mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.
Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran
menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang
jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang
harus ditiru.
Seorang imam surau, musholla atau masjid
adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam mengucapkan, “Iya kana’budu
waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami mohon
pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau
pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi,
menyembah dan mohon pertolongan hanya kepada Allah ?
Bagaimana jika shalat makmumnya tidak
khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah ekonomi. Apakah imam yang
menjadi wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu bersiap masa
bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga setiap
kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya
bahwa dia menyatakan siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja,
tetapi makmum atau orang yang dipimpinnya ternyata belum siap
dikarenakan masalah duniawi. Itulah sebabnya para Wali tidak hanya
membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha meningkatkan
taraf kehidupan ummatnya.
4. Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik
Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagaian besar rakyat Gresik
adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk
Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu
apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan
rajanya. Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim
mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya
yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa.
Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama
Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain datang ke Gresik disertai
putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari,
tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada
para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan dari negeri Cermain lalu
kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu
selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali,
selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri
Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas,
termasuk Dewi Sari.
Kabar kematiannya Dewi Sari terdengar ke
telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh
cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa
kerajaan ke desa Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan
kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi
Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari
dikuburkan.
Setelah rombongan dari negeri Cermain
meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh
daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah
sendiri dibawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah
siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak
memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh
Maulana Malik Ibrahim denga suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang
menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang- orang
bukan muslim yang mau hidup bersampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali
yang dianggap sebagai ayah dari Wali Sanga. Beliau wafat di Gresik pada
tahun 882 H atau 1419M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar