-
a. Biografi Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
b. Kisah Sunan Kudus
1. Asal – Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit.Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri bernama asli Ja’far Sodiq.Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.Selanjutnya melalui jalan diplomasi Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belah timur.Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
2. Kebijakan Sunan KudusDalam Menyebarkan Agama IslamDi samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jakfar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Jakfar Sodio mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu takkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.Selanjutnya, Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun. Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar
Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.“Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.“Dengan do’a,” jawab Jakfar Sodiq singkat.“Kalau hanya do’a kami sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.”“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do’a mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.“Hem, sungguh berani Tuan berkata demilian,” kata Amir itu dengan nada berang.
“Apa kekurangan mereka ?”
“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas. Mereka berdo’a hanya karena mengharap hadiah.”Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara khusu Jakfar Sodiq berdo’a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras mendadak saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itupun dibawa ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.Jakfar Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau Tutwuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit menuju ajaran Islami.Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.3. Cara Berdakwah Yang LuwesDi Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Juga mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.Pada suatu hari Sunan Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus ?Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya.
“Salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan ummat Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring ummat Budha.
Caranya? memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca diatasnya.
Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga”
yaitu1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan Menghayati agama dengan benar.Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.Seperti diketahui bersama Rakyat Jawabanyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni, neloni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an.Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrar hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau ditempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah.Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.Setelah masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau hanya bermaksud mengenalnya syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya ? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannyalebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya.Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.4. Tantangan Ki Ageng KeduBahwa Sunan Kudus itu seorang Wali berilmu tinggi dan sakti sudah dimaklumi masyarakat, tapi ada seorang yang merasa lebih sakti daripada Sunan Kudus. Orang itu bernama Ki Ageng Kedu. Seorang sakti hanya memiliki ilmu peringan tubuh sedemikian rupa sehingga hanya dengan melemparkan tampah ke udara kemudian dia meloncat hinggap di atas tampah itu diapun dapat terbang menurut keinginannya.
Pada suatu hari Ki Ageng Kedu yang penasaran atas kesaktian Sunan Kudus ingin mencoba adu kesaktian. Seperti biasa, dia mengambil tampah kemudian terbang ke daerah Kudus. Orang- orang yang melihatnya merasa kagum dan heran, Ki Ageng Kedu lewat begitu saja dengan cepatnya di atas rumah-rumah penduduk. Sewaktu berada di daerah Kudus ia tidak langsung turun dari tampahnya, mala tertawa ngakak berkeliling kota Kudus. Muridmurid Sunan Kudus sudah penasaran melihat kepongahannya, tapi saat itu Sunan Kudus belum keluar dari Masjid, beliau masih membaca dzikir seusai shalat. Dia juga tak merasa heran saat keluar dari masjid melihat Ki Ageng Kedu berteriak-teriak memanggil namanya.“Hai Sunan Kudus ayo keluarlah! Hadapilah aku Ki Ageng Kedu yang hendak menantangmu adu kesaktian !”Tiba-tiba Sunan Kudus menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng Kedu sembari berkata, “Aku di sini Ki Ageng Kedu !”Seketika tersirap darah Ki Ageng Kedu. Tampah yang dikendarainya mendadak oleng kesana- kemari. Tak terkendalikan lagi, tubuhnya yang ringan mendadak berubah menjadi berat dan segera tersedot oleh gaya tarik bumi, bahkan seperti dihempaskan oleh tenaga gaib yang tak tampak oleh mata. Tubuh Ki Ageng Kedu terlempar ke tanah yang becek, yangdalam bahasa Jawanya disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki Ageng Kedu itu jatuh disebut Jember.Setelah roboh ke tanah yang becek dan kotor, segala kesaktian Ki Ageng Kedu lenyap seketika. Dia telah berubah menjadi manusia biasa, tak bisa terbang lagi seperti dulu.5. Sunan Kudus Sebagai Seorang SenopatiSunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang
Kerajaan Demak Bintoro. Juga Senopati Waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para Wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak beliau pernah memimpin peperangan melawan
Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung.Sedangkan sebagai Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat. Pada bagian ini akan diceritakan secara singkat tugas Sunan Kudus di saat haus berhadapan dengan seorang murid Syekh Siti Jenar yang masih punya darah keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebabnya malam itu terdengar auman harimau secara terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demakyang menyamar sebagai santri biasa.“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.”“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua desa.“Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau)
padahal tak ada Sima.” Kata Sunan Kudus.Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Tiga tahun yang lalu, diawal tampak pemerintahan Raden Patah. Patih Wanasalam telah diutus untuk menemui Ki Ageng Pengging. Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah Ki Ageng Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak ?Pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam orang kepercayaan Raden Patah, memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan menentukan pilihan.Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan di balik baju petani. Tapi sewaktu- waktu mereka bisa di gerakkan di saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.Hal ini di sadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudusmemberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” Kata pelayan itu.“Aku bukan tamu biasa,” Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh
Ki Wanasalam. Patih Demak Bintoro.“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging.“Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak !Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” Kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat buktinya.”“Memang begitu !” Jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah !”Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat buktinya ?”“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.” Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng.“Tusuklah siku lenganku ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.Sunan Kuduspun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-berteriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar kearah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.“Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini.Pulanglah !” Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus.“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus sangat dihormat para penguasa pada jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan Handiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Selasa, 28 April 2015
SEJARAH LENGKAP WALI SONGO PART 10
SEJARAH LENGKAP WALI SONGO PART 9
a. Biografi Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
b. Kisah Sunan Gunung Jati
1. Asal – Usul
Sebelum era Sunan
Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari
Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang
muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari
Pajajaran bernama Pangeran Walang sungsang dan adiknya Rara Santang pada
suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga tiga
kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan
caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda
itu merasa rindu. Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda
itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya
itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul
Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan
Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi
untuk berguru kepada Syekh
Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang
diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda
sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu
dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap
dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar
Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang
terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing
yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari
berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban.
Maka Legal Alang- alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang
itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon
hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran
Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan
ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu
tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil
menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi
Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama
Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir
itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja
Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah. Rarasantang dan
Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan
Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan
Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di
Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri
Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari
daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran
Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban
Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu
Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri
baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan
walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk
pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif
Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua
puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa
berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan
kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif
Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah.
Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke
tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu
Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati
adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai
Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban
Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan
Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam
gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan
atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu
Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren
Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran
Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif
Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah
lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada
Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung
tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif
Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu
Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.
Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi
cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah
kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada
yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat
yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut
baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan
putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah
kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut
Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya
disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap
sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli
siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya
pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka
adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat
diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki
Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran,
mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira
pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan
Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri,
Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah
besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri
asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok.
Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri
Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati,
Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar
ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak
sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang
dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan
diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi
Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu
melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga
ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan
Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal
sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa,
seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke
Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah
karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518,
berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor,
baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakanpemberontakan dari
daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran
Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun
1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang
ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis
di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ?
Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran
menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon
itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu
dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya
Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik,
dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi
komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa
hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu
arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran.
Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra
Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari
Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap
Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di
Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA
sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman.
Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.
Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang
terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan
Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil
diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari
Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan
Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta
kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati
sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad
Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara
Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai
Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568,
dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau
dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus
Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu
berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
SEJARAH LENGKAP WALI SONGO PART 8
a. Biografi Sunan Muria (Raden Umar Said)
b. Kisah Sunan Muria
Sunan muria adalah salah satu anggota walisongo dan putra dari salah satu walisongo juga yaitu Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Nama asli dari Sunan Muria adalah Raden Umar Syahid. Beliau menyebarkan agama islam dengan cara yang halus seperti yang dilakukan oleh ayahanda beliau Sunan Kalijaga. Raden Umar Syahid mempunyai peran penting dalam proses penyebaran isalm di sekitar gunung muria. Tempat tinggal sunan muria berada di puncak gunung muria, yang salah satu puncaknya bernama Colo. Gunung tersebut terletak di sebelah utara kota kudus.
Cara Berdakwah
Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak
Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul
dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok
tanam, berdagang dan melaut.
Sunan muria menyebarkan agama islam kepada para pedagang,
nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Cara beliau menyebarkan agama islam dengan
tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah. Beliau
juga yang telah menciptakan berbagai tembang jawa. Salah satu hasil dakwah
beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti. Tempat dakwahnya
berada di sekitar gunung muria, kemudian dakwahnya diperluas meliputi Tayu,
Juwana, kudus, dan lereng gunung muria. Ia dikenal dengan sebutan sunan muria karena
tinggal di gunung muria.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan
ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat
jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar.
Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir
utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai
sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam
masyarakat.
Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam
konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai
pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu.
Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang
berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga
sekitar Kudus dan Pati.
Tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah.
Dengan gayanya yang moderat, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat
berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu
setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji
diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai
kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti
dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.
Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.
Kesaktian Sunan Muria
Bukti bahwa sunan muria adalah guru yang sakti mandraguna
dapat ditemukan dalam kisah perkawinan sunan muria dengan dewi Roroyono. Dewi
Roroyono adalah putri Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat
karena ketinggian ilmunya, yang bertempat tinggal di juana, pati jawa tengah.
Demikian sakti sunan ngerang sehingga sunan muria dan sunan kudus sampai
berguru kepadanya.
Beliau memiliki ilmu yang dapat mengembalikan serangan dari
lawannya. Itu terjadi ketika Kapa adik seperguruan beliau yang telah menculik
istri sunan muria menyerang sunan muria dengan mengerahkan aji pamungkas. Namun
serangan itu berbalik menghantam dirinya sendiri sehingga merenggut nyawanya.
Makam Sunan Muria
Sunan Muria dimakamkan di atas puncak bukit bernama bukit
Muria. Dari pintu gerbang masih naik lewat beratus tangga (undhagan) menuju ke
komplek makamnya, yang terletak persis di belakang Masjid Sunan Muria. Mulai
naik dari pintu gerbang pertama paling bawah hingga sampai pelataran Masjid
jaraknya kurang lebih 750 meter jauhnya.
Setelah kita memasuki pintu gerbang makam, tampak di hadapan
kita pelataran makam yang dipenuhi oleh 17 batu nisan. Menurut Juru
Kunci makam, itu adalah makamnya para prajurit dan
pada punggawa (orang-orang terdekat, ajudan dan
semacam Patih dalam Keraton).
Di batas utara pelataran ini berdiri bangunan cungkup makam
beratapkan sirap dua tingkat. Di dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di
sampingnya sebelah timur, ada nisan yang konon makamnya puterinya perempuan
bernama Raden Ayu Nasiki.
SEJARAH LENGKAP WALI SONGO PART 7
a. Biografi Sunan Kalijaga
b. Kisah Sunak Kali Jogo
1. Asal Usul Sunan Kalijaga
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung
Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau
dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur
sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said
sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban.
Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi
dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora
jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum
pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat
jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat
menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara,
mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan
ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah
mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita
para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan
pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia menghadap
ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah
semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said.
“Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik
leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas
penderitaan mereka ?”
Adipati Wilatikta menatap tajam kea
rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan
kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku ….. saat ini pemerintah
pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk
melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang
Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya
Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari
tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said.
Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah
ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung
atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal
yang selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu
melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri.
Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering
menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya
perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan
dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt
istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau
dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang
paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak
mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi
penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya
ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah
padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia
sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said
mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan
ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa
itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga.
Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu,
sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas
rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga
merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang
hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri
barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja
mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang
Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka
pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan,
pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said,
putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada
Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka
penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang
Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang
tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa
malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari
gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten
menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa
kehadapan ayahnya.
“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk
makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ? Atau aku tidak pernah
memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”
Raden Said
tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak
pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten
itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa
barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah
melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia
mencuri barang- barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit
itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus
mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali
dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada
tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar
rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang
sudah diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar
dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian
serba hitam dan kemudian merampok harta orang- orang kaya di kabupaten
Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang
curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan
orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini
mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati
yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian
pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said,
bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru
saja menyelesaikan shalat Isyá mendengar jerit tangis para penduduk
desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera
mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden
Said, kawanan perampok itu segera
berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik
memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si
gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang
berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang
berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai
memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok
itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak
terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung
lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru
diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat
tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para
pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden
Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran
mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa
orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali
tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri
yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan
saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup
aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten
Tuban
tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau
telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali
sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban
ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !”
ang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.
ang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.
Orang tua mana yang tak terpukul
batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan
menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang
memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah
seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama
besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa.
Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi
kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia
meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal
ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi
Rasawulan tak
pernah ditemukan oleh mereka.
pernah ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan
bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa,
seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.
2. Masa Penggemblengan Diri
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari
Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada
akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun
dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang
dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan
Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal
Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah
putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya
berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari
emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati. Terus diawasinya orang tua
berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari
berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta,
sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat
berjalan tanpa tongkat !”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum,
wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ……….
Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat
terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan
tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi ………. saat ini hari masih siang,
tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.”
Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif,
“anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang
berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat
ini aku tidak akan tersesat
bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi ………. saat ini hari masih siang,
tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.”
Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif,
“Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai
pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung
filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui
kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang
tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said
pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya.
Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja
terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu
menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini
tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar
lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak
tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan.
Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa ! Karena kau
mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu
tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !”
Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang …… caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang …… caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua ………. apa maksudmu ?” “Boleh aku bertanya anak muda ?” “Silahkan ………. “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula
amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara
haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan
air kencing.”
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah
itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik
atau halal.”Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa
malu mulai menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama
ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung
dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka
dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha
mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak
bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan
dan uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau
merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya !”
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan
hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang
halal. Ambillah sesukamu !”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk
pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas
seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang
pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai
ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu
mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir
ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir.
Raden Said terpukau di tempatnya
berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah
menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah
menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan
mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan
pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
“Pasti dia seorang sakti yang berilmu
tinggi. Menilik caranya berpakaian tentulah dari golongan para ulama
atau mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku
akan berguru kepadanya,” demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar
orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat,
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Seperti
santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said
tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok- seok dan berlari
lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru
sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti,
bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang
sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya
dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“Tunggu ………. “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid …… “ Pintanya.
“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid …… “
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”
“Saya bersedia …… “
Lelaki itu kemudian menancapkan
tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak
boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi
sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan
di atas air bagaikan berjalan didaratan saja. Kakinya tidak basah
terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said.
Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan
adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said
dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke
Tuban. Mengapa ke Tuban ? Karena lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi
pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah.
Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga
adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga
maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan
kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda
pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa
tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa
agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui
tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah
untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai
aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan
Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air
sungai tanpa ambles ke dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia tidak terkena
percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan
dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama
yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi
tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar dan
rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya
Raden Said bergaul dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di
pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada ajaran Islam yang
bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan
setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran
Islam tingkat tinggi sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan
pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup untuk dipergunakan
menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan
kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah
hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya.
Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya
itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak
langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan
Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said
mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh
lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu
benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan
mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Raden Said,
masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di
antaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama
adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati
Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan
kedudukan Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan yang
dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur,
sebab suami Dewi Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu Supa
adalah seorang Tumenggung Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari
keturunan Empu. Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada
cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya.
Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa tengah hingga ke Jawa
Barat. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal
nya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu,
Demak.
4. Jasa Sunan Kalijaga
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar
dihitung karena banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli seni,
budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya.
Untul lebih detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur
berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara Umar Hayim,
diterbitkan oleh Menara Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. Sebagai Mubaligh
liau dikenal sebagai ulama besar,
seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali
lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan
bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam
berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu
mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara Wali
lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar
murid- muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat
Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak
ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu
dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah
sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya
dengan senang hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari
adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara
Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan
dianggap bid’ah tidal langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum
Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut
simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau mendekat pada para
Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang
sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama
Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.
B. Sunan Kalijaga Sebagai Ahli Budaya
Gelar tersebut tidak berlebihan karena
beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni
ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni
Tata Kota dan lain-lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati
Maulud Nabi.
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati
Maulud Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna : di sana di situ, mumpung
masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna : di sana di situ, mumpung
masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia. Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri.
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia. Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri.
Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Sunan Kalijaga
membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan
digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah
satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan.
Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga
tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi.
Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang
kita lihat sekarang. Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali
ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi
Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar. i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan
Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama. Sebab Jawa dan Madura
mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan
meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiri dari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan
sembarangan. Alun-alun ; berasal dari kata “Allaun” artinya banyak macam
atau warna. Diucapkan dua kali “Allaun-allaun” yang maksudnya
menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusat
kota.
Waringin : dari kata “Waraa’in artinya
orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun
itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau
undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang
dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam
menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat,
hadiqat dan tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya
mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten
: letak istana atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan
alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya
menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa
harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa
itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang
alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau
kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang
dan rakyatnya.
SEJARAH LENGKAP WALI SONGO PART 6
a. Biografi Sunan Giri
b. Kisah Sunan Giri
1. Syeh Wali Lanang
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan
diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu. Salah sorang keturunan Prabu Hayam
Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu
dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ……”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat menyembuhkan putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa
saat. Pada akhirnya dia setuju atas saran istrinya. Segera dia
perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih Bayul Sengara
untuk mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid
Dewi Sekardadu akan dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat
mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka akan diberi separo dari
wilayah kerajaan Blambangan.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan,
Patih Bayul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa
biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah
Patih Bayul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan,
masuk hutan keluar hutan, naik dan turun gunung. Pada suatu ketika
mereka bertemu dengan seorang Resi bernama Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Ujung keris itu meleset ke arah sang
Resi, hampir saja menyentuh dada Sang Resi. Namun tiba- tiba keris itu
membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara.
Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat dia merundukkan badan.
Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam sebatang pohon
sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang
pohon sawo yang cukup besar, tinggal gagangnya saja yang tampak. Patih
Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang
Patih, dilihatnya batang pohon sawo itu mengeluarkan asap dan kulit
pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan pohon sawo itu
rontok, berguguran ke tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara
menjatuhkan diri, berlutut didepan sang Resi. Resi Kandabaya masih dalam
sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti tak pernah
terjadi suatu apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih
hinggap di depan sang Resi. Merpati itu meletakkan selembar daun
lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian merpati itu
mengeluarkan bunyi. (mbekur istilah Jawanya). Aneh, sang Resi
kemudian membuka sepasang matanya setelah mendengar suara si merpati.
Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala,
seolah mengerti apa yang diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan
sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi
Kandabaya.
Sang Resi segera mengambil daun lontar
yang diletakkan merpati tadi. Dia seperti tak menghiraukan adanya Patih
Bajul Sangara yang membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai
Padepokan.
“Ampun ……… ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba menganggu ketenangan
Bapa Resi ……… “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Bapa Resi ……… “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan
sang patih. Dia sedang asyik membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di
daun lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca tulisan didaun lontar,
sang Resi bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang
menggeletak kesakitan tanpa dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali
tepukan pada bagian-bagian tertentu di tubuh para prajurit itu maka
kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara dapat bergerak lagi dan rasa
sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta merta sepuluh orang
itu menjatuhkan diri berlutut didepan sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka
lagi. Dia berjalan kearah Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali
ini dia tidak duduk bersemedi melainkan tegak didepan Patih Bajul
Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ……… hamba harus yakin
bahwa orang yang hendak mintai pertolongan memang benar-benar mumpuni.”
ujar Patih Bajul Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang
resi. “Kau hendak memintaku mengobati penyakit sang putri Dewi
Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan atas perintah
Prabu Menak Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah
penyakit itu sudah dikehendaki Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya,
juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia- nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia- nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang
tersirat di hati Patih Bajul Sengara. Sesudah menarik nafas panjang
karena kesal melihat sikap sang Patih diapun berkata, “Baiklah Patih,
aku akan memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang
yang mampu menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir
wabah penyakit dari seluruh wilayah Blambangan. Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut
sang Resi.” Akan terjadi sesuatu di luar perhitunganmu dan hal itu akan
membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin mengetahui orang yang
hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba
bersikap kurang ajar kepada orang yang hendak menyembuhkan Dewi
Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang diajukannya hendaknyan kau dan
Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam,
beristirahatlah di Padepokan ini. Besok pagi kalian boleh
berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu
hingga ke tempat tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu bermalam di Padepokan Resi
Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.
Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada
pertapa di gunung Selangu itu.” Pesan Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul
Sengara meninggalkan Padepokan.
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan
waktu yang cukup lama. Walau mereka naik kuda pilihan tapi pada
tengah hari barulah mereka sampai di gunung Selangu. Mereka
terus mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika
jalanan semakin naik, maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu
berhenti didepan sebuah goa. Saat itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu
keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang, sebuah cahaya yang
mampu menerangi tempat sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para
prajurit pengiring untuk menunggu di luar goa. Dia sendiri segera
berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin terang cahaya yang
memancar itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul
Sengara terbelalak heran, ternyata cahaya itu bukan berasal dari sebuah
lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh seorang berjubah putih
yang sedang bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu
mengeluarkan cahaya terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka
Patih Bajul Sengara tidak berbuat macam- macam yang justru akan
membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia menunggu orang itu
bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah Patih Bajul
Sengara menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi
Kandabaya,” ujar sang Patih.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi
Kandabaya,” ujar sang Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama aku bersahabat dengan Resi
Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan
maksud kedatangannya menemui sang pertapa. Pertapa itu mengangguk
–anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih. “Sebelum aku
menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini, “kata
pertapa itu. “Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku
bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan sekaligus mengusir wabah
penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa Prabu Menak Sembuyu
dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan bersedia
mendengar nasehatku.”
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk
di luar perhitunganku, demikian bisik hati sang Patih. Soal pindah agama
dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang
Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak
untuk pulang ke istana Blambangan, menyampaikan persyaratan yang
diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh
Maulana Ishak.
Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke
Blambangan dan menyampaikan persyaratan yang diajukan Syekh Maulana
Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu
untuk melepaskan agama lama yang terlanjur diyakini selama
bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi Sekardadu,
maka dia terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana
Ishak. Patih Bajul Sengara diperintahkan menjemput Syekh Maulana
Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih Bajul Sengara
dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. Syekh Maulana Ishak
akan menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul
Sengara ketika sampai di istana Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak
sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur
keterlambatan sang Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana
Ishak itu benar-benar pertapa sakti yang mumpuni. Dia yang menempuh
perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang
datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak
melakukan tirakat untuk mengobati Dewi Sekardadu. Di malam keempat,
sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat ditiupkan wajah sang putri tiga
kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari
tidurnya. Seluruh isi istana gembira menyaksikan hal itu terlebih
permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya.
Syekh Maulana Ishak diambil menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu.
Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih
seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri
Blambangan untuk memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk
yang melanda rakyat Blambangan.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari- hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari- hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan
penyuluhan merawat kesehatan dan membersihkan diri serta lingkungan
tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka banyaklah rakyat
Blambangan yang sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya
tergolong berat terpaksa mendapat perawatan khusus dari Syekh Maulana
Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan,
pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara
diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena Syekh Maulana Ishak bukan
hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu melainkan juga
mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai
raja muda atau Adipati. Mendapat kekuasaan separo dari wilayah kerajaan
Blambangan, sesuai dengan janji yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu
sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara
pernikahan yang diselenggarakan itu sudah terjadi ketegangan antara
Syekh Maulana Ishak dengan pihak keluarga kerajaan. Yaitu disaat jamuan
makan dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada
Syekh Mulana Ishak kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang
haram, seperti babi hutan, harimau, ular, kera dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu
sungguh sulit sekali. Kalau dia tidak mau menyantap hidangan itu
nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu Menak Sembuyu.
Jika disantap dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam,
maka diapun berdoá kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoá terjadilah sesuatu diluar
dugaan. Daging-daging binatang haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba
berubah menjadi binatang hidup berloncatan kesana–kemari. Yang asalnya
dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau, yang
asalnya babi hutan menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik.
Pesta meriah geger, Syekh Maulana Ishak mengajak isterinya pulang di
Kadipaten baru yang harus diperintahnya.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh
Maulana Ishak sengaja mempermalukan sang Prabu dengan menghidupkan
binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para peserta pesta. Bukan
hanya itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak
rakyat Blambangan masuk Islam dianggap membahayakan kedudukan Prabu
Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal kerajaan Blambangan. Karena
semakin hari semakin banyak pengikut Syekh Maulana Ishak yang masuk
Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana
Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh
Maulana Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut
kerajaan Blambangan ini dari tangan Gusti Prabu, demikian hasut Patih
Bayul Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan berontak dan memaksa kita
benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa
kita pura-pura saja masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti
mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya
pura-pura masuk agama Islam demi kesembuhan putrinya. Kini setelah
termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara dia mulai menaruh kebencian
kepada menantunya itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.
akin hari semakin bertambah banyak saja
pengikutnya. Hati Prabu Menak Sembuyu makin panas mengetahui hal ini.
Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu
dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa
sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan terror pada pengikut Syekh
Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh
Maulana Ishak di culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama.
Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada
akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang
hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan
akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan
rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit
kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan
hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh
bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang
diri.
Esok harinya sepasukan besar
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos
masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Tentu saja Patih kecele, walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia
tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi
Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan. Seluruh pengikut Syekh
Maulana Ishak sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak
terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa
bangga atas kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih
membara di dadanya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi
Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu
Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat
kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi
Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi
Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
n halnya dengan Patih Bajul Sengara.
Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih saying keluarga istana
selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu.
Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan.
Maka Patih Bajul Sengara mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak
sebagai penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat
Blambangan ini disebabkan ulah Syekh Maulana Ishak. Dewa murka karena
penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan
kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana
kita harus kembali
kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,”
demikian kata sang Patih.
kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,”
demikian kata sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat
bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun
menurut dukun-dukun terkenal di Blaangan ini disebabkan adanya hawa
panas yang memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul Sengara
dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil
keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran
cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror denga
hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau
demikian tiada juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara
langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam
peti dan diperintahkan untuk dibuang kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar sang Prabu kepada Dewi
Sekardadu.
Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis
dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu
saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu
adalah lautan besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan
upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan
tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan,
peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari
pandangan mata. Meski demikian wanita muda itu tidak beranjak dari
tempatnya. Suasana di tepi pantai itu sudah sunyi senyap, hanya debur
ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari mulai condong ke
langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu
segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk
tepekur di tepi pantai.
Di saat para prajurit meninggalkannya
itulah Dewi sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia
melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap
benci sang Patih kepada Syekh Maulana Ishak adalah dikarenakan ambisinya
untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar
manakala kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang telah lama
diimpikannya sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan
ternyata lebih dahulu di sunting oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah
padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syekh Maulana Ishak dari bumi
Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang
telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus
menyingkirkan putra Syekh Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu
benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu dan di belakang hari
bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para
prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang duduk terpekur di tepi pantai hingga
sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat. Patih itu kelabakan, dia
perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu
sia-sia belaka. Sang Putri seolah-olah lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum
meneruskan perjalanan ke negeri Pasai sempat mampir ke Ampeldenta di
Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia berpesan, apabila
bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu
itu supaya dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka
mendidiknya secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak
berkeberatan menerima amanat itu. Jika kita amati di dalam Babat Tanah
Jawa, sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishak masih
terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah. Dan
kemudian beliau mendapat sebutan Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana
Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan perguruan Islam di sana dan terkenal
sebutan Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di Gresik dekat makam Maulana
Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh
Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh
Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh Maulana Malik Ibrahim.
2. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu
dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada
ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak
dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk
memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu
karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah
peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan
menyimpan barang berharga.
Nakhoda memerintahkan mengambil peti
itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena
didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan
rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil
itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah
lautan, sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak
kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat
bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata
perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian
diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena peti perahu ini
tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat
bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata
perahu itu melaju dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian
diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena petiperahu ini
tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat
melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke
Gresik, kita laporkan kejadian aneh ini kepada majikan kita,” demikian
kata Nakhoda kepada anak buahnya.
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang gelombang dan badai.
Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang gelombang dan badai.
Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan
selamat. Tetapi Nyai Ageng Pinatih merasa cemas melihat kapal perahu
dagang miliknya kembali lebih cepat dari biasanya. “Apa yang terjadi?
Mengapa kalian pulang secepatnya ini ?”
Lebih-lebih setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti semula. Nyai Ageng Pinatih mulai naik pitam.
Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya membawa peti berisi bayi ke hadapan Nyai Ageng Pinatih.
“Peti inilah yang menyebabkan kami
kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke
Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng Pinatih.
“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari
membuka tutup peti itu. Sepasang mata Nyai Ageng Pinatih terbelalak
heran melihat bayi montok, sehat dan rupawan menggerakgerakkan tangannya
sembari menatap ke arahnya.
“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Begitu diangkat bayi itu tampak
tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih berbinar-binar, seketika itu juga dia
merasa sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu adalah seorang
janda yang tidak dikaruniai seorang putrapun.
“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda kapal.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.
“Benar Nyai Ageng.”
“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini ?”
“Banyak di antara kami yang menyukai
bayi itu dan mengambilnya sebagai anak. Tapi kami tahu betapa lama Nyai
Ageng mendambahkan seorang putra, maka lebih tepat kiranya bila Nyai
Ageng yang merawat dan membesarkan bayi itu.”
“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat
berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya. Memang sudah lama dia
mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa senangnya…. Kepada
nakhoda dan anak buahnya.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat
oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya yang disegani
masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai
Ageng Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang
muslimah yang baik, walau Joko Samodra bukan anak kandungnya dia merawat
dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih Joko Samodra itu
ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat berbakti
selalu bersikap menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia
selalu menghormati dan menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya
dia tak pernah menyakiti atau berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra
benar-benar merupakan profil anak yang menjadi buah hati orang tua dan
pantas dibanggakan setiap orang tua. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng
Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat
atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel
telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra bukanlah anak sembarangan.
Muridnya yang satu ini memiliki kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran
yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo yang tidak terlalu
lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden
Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud,
mendoákan murid-muridnya dan mendoákan ummat agar selamat di dunia
dan akhirat. Sebelum berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-
lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada
sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat
beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui
siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi
ikatan pada pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” Tanya Sunan
Ampel.
Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko
Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak
sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk
menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk
bertanya lebih jauh tentang asal usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih
menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di
temukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan
untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah
Nyai Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri
datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih tersimpan rapi itu.
Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal dari
kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekhb Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekhb Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak
sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan
pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden
Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya
penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga
masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
3. Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta,
Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang
bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja,
saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda
itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di negeri
Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di Negeri Pasai banyak orang
pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar
Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah
Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan
teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang
menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu
yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku
dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya
disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak
ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya
sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak
angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di
Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan
pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus
meninggalkan istri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan
mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah
disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib
ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih
hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam hatinya telah bertekad untuk
pada suatu ketika akan datang ke Blambangan menuntut balas atas
kekejaman kakeknya itu. Namun Syekh Maulana Ishak segera meredahkan
gelora hati Raden Paku yang masih
berusia muda itu. “janganlah kau diperbudak iblis sehingga berniat
membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh Maulana Ishak.” Memang boleh
kita membalas perbuatan jahat seorang dengan balasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Tapi memberi maaf itu lebih baik. Jika engkau
pemuda Islam yang baik yang tidak sama dengan pemuda lain dengan
menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah otomatis kita berdakwah
dengan perbuatan nyata.”
Karena nasehat ayahnya yang bijaksana
itu Raden Paku mengurungkan niatnya untuk membalas dendam pada Prabu
Menak Sembuyu. Toh raja Blambangan itu masih terhitung kakeknya
sendiri.
Di negeri Pasai ulama besar dari negeri
asing yang menetap dan membuka pelajaran agana Islam kepada penduduk
setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum
Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh
Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku
dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan,
sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar
ilmu Ta uhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran,
Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan
menjiwai kehidupan Raden Paku dalam prilakunya sehari-hari sehingga
kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang
sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan
berpengalaman. Guru-gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana
A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan
masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua
pemuda itu diperintahkan kembali ke Tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku
diberi sebuah bungkusan putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah
Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam
bungkusan ini, disitulah kau membangun Pesantren,” Demikian pesan
ayahnya.
Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya.
Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel
memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku
diperintah pulang ke Gresik kembali ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng
Pinatih. “Tiba masanya bagimu untuk berbakti kepada Nyai Ageng Pinatih.”
Kata Sunan Ampel. “Walau dia bukan ibu kandungmu tapi dialah yang
membesarkan dan merawatmu sejak kecil.
Bantulah dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita juga melakukan da’wah sambil berdagang.”
Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim
berdakwah di Tuban dengan menggunakan gamelan untuk menarik masa maka
akhirnya dia dikenal sebagai Sunan Bonang. Sesuai dengan nama gamelan
yang sering di gunakan melantunkan lagu-lagu atau tembang keagamaan.
Sedang Raden Paku kembali ke Gresik untuk membantu ibu angkatnya dalam mengurus perdagangan antar pulau.
4. Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku
diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar
atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati.
Nakhoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah.
Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng
Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan
dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan
pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu
terjual habis di pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa
barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa,
seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan
yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah
kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang
dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah
menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, “Raden …… kita
pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan
kita diberikan secara Cuma-Cuma ?”
“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan
ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya kira
belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan
diri.”
“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata
Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita
mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai ?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia
sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi
kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi
sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau,” kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal
tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.”
Walaupun agak konyol tapi benar juga
akal itu, demikian pikir Abu Hurairah. Kapal itupun diisi dengan
karung-karung yang berisi pasir dan batu. Sekedar menjaga keseimbangan
agar kapal itu tidak karam dihantam badai.
Memang benar, mereka dapat berlayar
hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah
menjadi kebat kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap
Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat.
Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata Raden Paku. “Lebih baik ibu lihat dulu apakah isi karung-karung dalam kapal itu ?”
“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah
tak pernah berbohong kepadaku. Pasir dan batu apa susahnya mencari di
Gresik ini. Aku tidak keberatan barang dagangan itu kau sedekahkan
kepada penduduk Banjar yang menderita tapi pasir dan batu itu buat apa
?”
“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !” pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja
pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja !” Hardik
Nyai Ageng pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar,
seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya
jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada
penduduk Banjar. Sejak saat itu Nyai Ageng Pinatih tidak berani
menganggap sembarangan pada anak angkatnya. Dia yakin kelak Raden Paku
akan menjadi orang besar, seorang yang mempunyai kelebihan dibanding
pemuda-pemuda biasa lainnya.
5. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah, ada seorang bangsawan
Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai Sebuah pohon
delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang
hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut
meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja
lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah
pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Pakuh, dan ia berkata, “kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah
mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu
dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi
Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu
seorang muslim yang baik, aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah
yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap
kau tidak mengecewakan niat baiknya itu.” Demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi ………. bukankah saya hendak menikah dengan putri Kan jeng Sunan yaitu dengan Dewi
Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi
Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden
Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel,
kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang Bangsawan Majapahit
yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya. Sesudah berumah
tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil
berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat
sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak
memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam
dengan mendirikan pondok Pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk
meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu
tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari
dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan
Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan
kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya,
maka wanta itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan
pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa
yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat
kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih
ada, yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah
Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun
berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan
tanah yang di bawa dari Negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden
Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai,
iapun mencocokan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu.
Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau
gunung maka dinamakanlah pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sangsekerta
artinya gunung. Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan
spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga
tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
6. Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya
dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya
hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf,
sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia
memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di
Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari
Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana
karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton ( Kerajaan
Giri ) .
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Giri ) .
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid
Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar,
seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah pengembara kebesaran
nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada
jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun
masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para
santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya
dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air.
Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara
Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya
beliau seorang yang mampu melakukannya.
7. Sebagai Pemimpin Kaum Putihan
Dalam menentukan hokum agama yang pada
saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-masalah ummat
yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau kuatir terjerumus
pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih.
Ibadah menurut beliau haruslah sesuai
dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan
lama yang justru bertentangan dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau
di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih.
Di bidang tauhid beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat
lama dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan
dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak menyesatkan ummat
dibelakang hari.
Pelaksanaan syariat Islam di bidang
agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini maka Sunan Giri
dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini
artinya adalah dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih
seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan adalah Sunan Giri yang
didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.
Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria.
Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah
Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :
Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :
Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat
1. ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka
2. ditiadakan.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk
3. mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam
4. menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang
5. kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
1. ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka
2. ditiadakan.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk
3. mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam
4. menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang
5. kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
Itulah pendapat kaum Abangan yang
dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbedaan
dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi
ketegangan kedua pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan
bermahZab Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyadari pentingnya pos
mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur
dengan faham yang berbau syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah
mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk agama Islam.
Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka
saja.
8. Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan
Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang
pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang
dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh
Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya
dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan
peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pegelaran wayang kulit,
kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak
diresmikan pada saat
hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar
manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan
sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah
dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi
tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam
pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang
arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat
Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang
dinamakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga. Peranan Sunan Giri dalam
perjuangan Wali Songo sebenarnya masih banyak, diantaranya akan kami
turunkan dalam bab lain di buku ini.
9. Prabu Satmata Dan Giri Kedaton
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun
1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau
Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat
bagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan
Wali Songo, yaitu menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah
yang paling tidak setuju atas beberapa usul agar Raden Patah segera
menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri sebagai kerajaan Islam
merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan Sunan Giri
yang masih terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu
Brawijaya sebagai pembesar atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa
didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri
berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang
paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali
mengusulkan untuk menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak
setujuannya.
“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit
sudah keropos dari dalam. Lagi pula Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih
ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan
Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka
menyerang dan merebut tahta ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan
Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa adipati yang masih
beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan. Kita tak usah
ikut- ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan
agama yang kita anut.”
Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak
lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri bernama
Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa
Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak
yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel
wafat, penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga.
Sedang Sunan Giri dianggap sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di
bidang politik kenegaraan.
Para Wali mengadakan sidang sesudah
jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana yang
berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan
Majapahit. Dengan demikian ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah
menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan
justru merebut tahta Majapahit dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada
waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di Majapahit pernah berusaha
menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri dianggap salah satu kerabat
Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Sunan Giri.
Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar
Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu.
Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton
untuk menentang Sunan Giri adu kesaktian. Diantara adu kesaktian
beragam jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan
Mintasemeru menciptakan sepasang angsa jantan dan betina, kemudian
dikubur hidup-hidup diatas gunung Patukangan. Sesudah itu dia kembali
menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan
Mintasemeru menguji Sunan Giri.
Mintasemeru menguji Sunan Giri.
“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya.
Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.
“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.
Sang Begawan menurut. Dia bongkar
kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai
gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu
saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa
Begawan Mintasemeru masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang
menakjubkan, tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada
akhirnya Begawan Mintasemeru menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam,
kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu. Legenda tentang adu
tebak kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di
tangga masuk ke makam Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan.
Disana ada sepasang naga dari ukiran batu yang mirip dengan angsa.
10. Jasa-Jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja
perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke
Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang
ataupun dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang
ataupun melalui murid- muridnya yang ditugaskan keluar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam
perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad
karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang
disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat
tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal
jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan
konsekwen berdampak positif bagi generasi Islam berikutnya.
Islam yang disiarkannya adalah Islam
sesuai ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adapt istiadat
lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah
yang pertama kali menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang
bernafas Islam antara lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan
dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintanya ialah sebagai
berikut :
Diantara anak-anak yang bermain ada yang
menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan
selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau
batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang
disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah
berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari
ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, dolanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog hangetikar.”
ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog hangetikar.”
Artinya adalah sebagai berikut :
“Malam terang bulan, marilah lekas
bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat
benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”
Maksud lagu dolanan tersebut ialah :
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan,
di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang
lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Sunan Giri jauh-jauh sudah
memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan jaman.
Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang akan datang akan banyak
orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat
jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka
dipuja-puja
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.
Dimasa yang akan datang juga akan muncul
guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka
mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa
saja. Guru semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai
masyarakat rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi
kesenangan sang guru. Dalam kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang
sudah sering terbukti. Sudah berapa kalikah masyarakat dibodohi
guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul hingga orang-orang yang
mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.
11. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada
tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh
tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri
Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar
terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai
bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan
menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri
berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama
meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu :
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih
mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh
VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam
rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang
murid dari Pesantren Giri yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan
bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan
karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah
menumpas dan membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan
isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari
orang- orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah
para pengikut faham Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar yang ditentang Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari
wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal
hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri.
Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri.
Langganan:
Postingan (Atom)